Sebuah unggahan dari akun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) @perumperhutani pada Kamis (7/8/2025) menyebutkan bahwa terdapat beberapa hewan yang dapat mengetahui cuaca hari esok.
Unggahan tersebut menyebutkan bahwa beberapa hewan seperti katak pohon, burung walet, semut, kupu-kupu, dan lebah dapat memprediksi cuaca.
“Hai #SobatRimba, tahu nggak sih kalau hewan bisa memberi isyarat cuaca yang akan datang Yupss, sebelum BKMG ada hewan-hewan yang sudah tahu cuaca besok lho. Ada beberapa hewan yang mempunyai kemampuan alami membaca tanda-tanda perubahan cuaca,” tulis akun tersebut.
Diketahui, prakiraan cuaca biasanya dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG.
Lantas, benarkah beberapa hewan bisa memprediksi cuaca?
Hewan memiliki mekanisme fisiologis dan perilaku sensitif
Dosen Biologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Rury Eprilurahman mengatakan bahwa fakta tersebut benar adanya dan dapat dijelaskan secara ilmiah.
“Fenomena hewan yang tampak “meramal” cuaca sebenarnya berkaitan dengan respons biologis terhadap perubahan faktor lingkungan yang mendahului peristiwa cuaca tertentu,” jelas Rury ketika dihubungi, Rabu (13/8/2025).
Lebih lanjut ia mengatakan, hewan-hewan tersebut tidak benar-benar “memprediksi”, namun hal itu merupakan mekanisme fisiologi dan perilaku sensitif terhadap perubahan lingkungan.
“Hewan-hewan tersebut tidak benar-benar “memprediksi” dalam arti berpikir ke depan, tetapi memiliki mekanisme fisiologis dan perilaku sensitif terhadap perubahan variabel lingkungan,” lanjutnya.
Kondisi lingkungan yang dirasakan hewan
Rury menjelaskan beberapa kondisi lingkungan yang dapat diprediksi oleh beberapa jenis hewan, yaitu:
1. Perubahan tekanan udara (barometrik)
Banyak hewan, termasuk burung layang-layang dan serangga terbang, sangat peka terhadap penurunan tekanan udara sebelum hujan atau badai.
Tekanan rendah tersebut biasanya diikuti oleh kelembapan tinggi dan hujan, sehingga hewan-hewan ini akan mengubah perilaku.
“Contoh perubahan perilaku tersebut misalnya burung terbang lebih rendah atau serangga mencari tempat berlindung,” kata Rury.
2. Kelembapan dan curah hujan
Rury mengatakan bahwa katak dan amfibi lain memiliki kulit permeabel yang peka terhadap kelembapan.
Peningkatan kelembaban sebelum hujan dapat memicu mereka keluar untuk berburu atau berkembang biak, karena kondisi lembap mencegah dehidrasi.
“Pada banyak spesies katak, panggilan kawin sering terjadi sesaat sebelum atau saat hujan yang sebenarnya ditandai dengan perubahan kelembapan dan intensitas cahaya,” jelas Rury.
3. Perubahan suhu lingkungan
Serangga seperti kupu-kupu atau lebah mengandalkan suhu optimal untuk terbang.
Rury menjelaskan, penurunan suhu yang mendadak sebelum hujan dapat mengurangi aktivitas terbang dan mendorong mereka mencari tempat berlindung.
4. Kondisi angin
Perubahan pola angin juga memengaruhi pergerakan hewan.
“Burung migran atau burung laut sensitif terhadap arah dan kecepatan angin, sehingga dapat mengubah jalur terbang sebelum badai datang,” jelas Rury.
Respons-respons ini merupakan hasil seleksi alam.
Hewan yang secara naluriah menghindari kondisi buruk memiliki peluang hidup dan reproduksi yang lebih tinggi.
Dari waktu ke waktu, perilaku ini diwariskan sebagai bagian dari insting spesies.
“Jadi, dengan memperhatikan gerak-gerik satwa atau bahasa Jawanya “niteni”, maka masyarakat bisa mengetahui kondisi alam lebih awal,” ungkap Rury.
Peristiwa Merapi 2010
Rury mengungkapkan, contoh lain dari hewan-hewan yang dapat mengetahui kondisi cuaca adalah ketika peristiwa erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010.
“Saat itu cukup banyak binatang, seperti katak, monyet, burung, dan lainnya yang mulai turun atau menjauhi dari lereng Merapi pada 2010,” ungkap Rury.
Menurutnya, hal tersebut sebenarnya merupakan tanda telah terjadi perubahan kondisi lingkungan, baik dari tekanan udara, peningkatan suhu, dan lain sebagainya.
Hewan-hewan tersebut kemudian merespons dengan menjauhi sumber peningkatan suhu dan aktivitas vulkanis.
Dengan melihat fenomena aktivitas hewan tersebut, masyarakat sebenarnya mendapatkan early warning system dari alam.
“Pada prinsipnya manusia dapat membaca sinyal-sinyal alam dari fauna sehingga bisa bersiap-siap dengan kondisi berikutnya,” jelas Rury.